Cinta adalah sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dikupas dan dibahas. Karena setiap orang memiliki pengertian masing-masing dalam menerjemahkan apa itu cinta. Namun pembahasan kali ini akan membahas cinta makhluk kepada Sang Khaaliq. Yang dalam pengertian Islam dikenal dengan Mahabbah. Mencintai Allah termasuk ibadah. Mahabbah (kecintaan) kepada Allah adalah tujuan akhir dan derajat tertinggi.
Setelah menggapai mahabbah, sungguh tidak ada lagi tingkatan selain buah dari mahabbah itu sendiri, seperti syauq (kerinduan), uns (kenyamanan), dan ridha. Seandainya seorang hamba melakukan ibadah tanpa adanya rasa cinta, maka ibadah tersebut tidak akan pernah terasa nikmat. Berbeda jika seseorang beribadah kepada Allah dengan berlandaskan mahabbah, maka ia akan mendapati manisnya iman dan khusyu’ dalam ibadahnya. Ibadah tidak benar kecuali hanya kepadaNya saja. Karena ibadah adalah kesempurnaan cinta, ketundukan, dan penghinaan diri di hadapan Rabb yang Maha Agung.
Cinta yang paling bermanfaat, paling wajib, paling tinggi, dan paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepadaNya dan menjadikan seluruh makhluk memiliki fitrah untuk mengesakanNya. Seluruh hati diciptakan dengan tabiat cinta kepada siapa saja yang memberinya nikmat dan bersikap baik kepadanya. Maka bagaimana dengan Dzat yang seluruh kebaikan dan nikmat berasal dariNya?
ومابكم من نعمة فمن الله ثم ﺇذا مسكم الضر فاليه تجئرون
“Segala nikmat yang ada pada kalian berasal dari Allah. Kemudian jika kalian ditimpa kemudharatan kepadaNya lah kalian memohon pertolongan.” (An-Nahl: 53)
Mencintai Allah adalah kehidupan bagi hati dan nutrisi bagi ruh. Tanpanya, hati tidak akan merasakan kelezatan, kenikmatan, kemenangan, dan bahkan kehidupan. Bila hati kehilangan cinta ini, deritanya melebihi derita mata dikala kehilangan daya pandangnya. Melebihi derita telinga dikala kehilangan daya pendengarannya. Bahkan rusaknya hati melebihi rusaknya badan dikala ditinggal oleh nyawanya. Namun, semua ini hanya dapat dirasakan oleh seseorang yang masih ada kehidupan di dalam hatinya. Sebab, luka tak akan terasa bagi jasad yang sudah mati.
Abdullah bin Mubarak mendendangkan syairnya :
Engkau bermaksiat kepada Allah
Tetapi katamu kau mencintaiNya
Sungguh ini adalah qiyas yang keliru
Kalaulah benar cintamu kepadaNya
Kau pasti mentaatiNya … sebab
Pecinta itu pasti taat kepada yang dicintainya
Ada seorang ibu yang menasehati anak-anaknya, “Biasakanlah untuk mencintai Allah dan mentaatiNya. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu dijinakkan dengan ketaatan, sehingga tanpa ketaatan menjadi liarlah anggota badannya. Bila setan datang menawarkan kemaksiatan, kemaksiatan itupun akan berlalu dengan menanggung rasa malu, sebab mereka menolaknya mentah-mentah.”
Fath Al-Maushiliy juga bertutur, “Pecinta itu tidak lagi merasakan lezatnya dunia. Tidak juga lalai dari dzikir kepada Allah walau sedetik.”
Penutup
Tidaklah pantas bagi seorang muslim, cintanya kepada Allah ia duakan karena lebih mendahulukan cintanya kepada manusia, hartanya, tempat tinggalnya dibanding cintanya kepada Allah. Sehingga ketika perintah Allah bertabrakan dengan kepentingan dunianya, maka ia tinggalkan perintah Allah tersebut, tentu ini tidak pantas. Dari Sahabat Anas, Rosulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah (sempurna) iman kalian sampai aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Referensi:
Al-Qaulul Mufid ala Kitabit Tauhid, karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
Buletin al Tauhid seri ke 40, judul “Kau duakan cintaNya”, karya Wiwit Hardi P.
Kitab Tazkiyatun Nufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqarrirruhu ‘Ulama’ As-Salaf karya Ibnu Qayyim, Ibnu Rajab, Imam Al-Ghazali
# Penulis : Syamsiah Ummu Qais hafizhahallah
—